Petisi Brawijaya, Jakarta – Empat perusahaan tekstil besar di Indonesia, yakni Sritex dan tiga anak perusahaannya, dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024.
Total utang yang harus ditanggung oleh perusahaan mencapai angka yang sangat besar, yaitu Rp 32,6 triliun. Kondisi ini membuat kurator Sritex terpaksa akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal kepada para buruh pekerja.
Hal itu disampaikan oleh Tim kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga untuk menangani kasus ini terdiri dari Denny Ardiansyah, Nurma C.Y. Sadikin, Fajar Romy Gumilar, dan Nur Hidayat dalam konferensi persnya di Semarang, Jawa Tengah, Senin, (13/1/2025).
Denny Ardiansyah, salah satu kurator mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum ada pertemuan lintas kementerian yang membahas kepailitan perusahaan dan nasib hak-hak buruh.
“Kita tidak pernah bertemu langsung secara komprehensif, misalnya perindustrian, naker, perekonomian jadi satu, untuk kemudian berpikir, ini solusinya apa? Ini gak pernah ada,” ungkap Denny saat konferensi pers di All Stay Hotel Semarang, Senin (13/1/2025) malam.
Merespons permintaan untuk menerapkan skema going concern agar pabrik tetap dapat beroperasi setelah dinyatakan pailit, tim kurator menyatakan bahwa mereka telah mengikuti pertemuan di Bea Cukai dan lintas kementerian.
Namun, mereka hanya diminta untuk tidak melakukan PHK tanpa adanya solusi konkret yang ditawarkan. Merasa merasa tertekan untuk melakukan going concern dan menghindari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Kita bertemu satu per satu diwakili industri dengan kemenko dengan naker intinya ini jangan PHK. Jangan PHK tapi solusinya, apa yang kami pertanyakan. Justru kami tim kurator dalam posisi terdesak. Kami ketika saat ini dipaksa untuk tidak melakukan PHK ini, kami dipaksa untuk melanggar Undang-Undang,” tegas Denny.
Skema going concern dapat dilakukan bila bertujuan untuk meningkatkan harta pailit atau mempertahankan harta pailit. Namun, sampai saat ini tim kurator belum melihat potensi meningkatkan harta pailit.
Ia melanjutkan, operasional pabrik yang tidak menguntungkan dengan skema going concern bukanlah pilihan yang tepat.
“Dengan melihat juga beban utang dengan ekuitas dengan asetnya, saya kira langkah pemberesan itu adalah langkah yang tepat untuk saat ini,” kata Denny.
Denny menilai bahwa langkah pemberesan adalah pilihan yang lebih tepat saat ini, mengingat beban utang yang sangat besar dibandingkan dengan ekuitas dan aset perusahaan.
Tim kurator lainnya Nurma menambahkan bahwa saat ini pihaknya akan memfokuskan perhatian pada penanganan aset terlebih dahulu untuk membayar seluruh utang yang dimiliki sebelum akhirnya menyusun rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tidak mengabaikan hak-hak para buruh.
“Terkait dengan PHK tadi penerapannya mungkin nanti kami akan formulasikan bersama kurator dan kita juga akan melihat bagaimana ke depannya kami mengamankan terlebih dahulu dari aspek pailit,” kata Nurma.