Petisi Brawijaya, Jakarta – Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin mengungkapkan kendala penerapan hukuman mati di Republik Indonesia.
Burhanuddin di Gedung Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, di Jakarta, pada Rabu, (5/2/2025), mengatakan saat ini masih ada sekitar 300 terpidana mati yang belum dieksekusi. Kebanyakan terpidana tersebut merupakan Warga Negara Asing atau WNA.
Ia mengungkapkan bahwa WNA terpidana mati kebanyakan adalah terpidana kasus narkoba yang berasal dari Eropa, Amerika, dan Nigeria.
Di sisi lain, ia mengatakan saat ini banyak negara lain yang menyatakan keberatan terhadap eksekusi mati terhadap warga negaranya.
Oleh sebab itu, Burhanuddin menyebut koordinasi secara intensif terus dilakukan dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk mengeksekusi WNA terpidana mati.
Akan tetapi, hukuman tersebut sulit dilaksanakan karena dalam prosesnya harus mempertimbangkan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara lain.
“Kami pernah beberapa kali bicara waktu itu masih Menteri Luar Negerinya Ibu (Retno Marsudi), ‘Kami masih berusaha untuk menjadi anggota ini, anggota ini, tolong jangan dulu (dieksekusi), nanti kami akan diserangnya nanti’,” tuturnya.
Di sisi lain, Burhanuddin mengatakan bukan tidak mungkin eksekusi mati terhadap WNA juga akan berdampak pada WNI yang terlibat dalam masalah hukum di luar negeri.
“Saya bilang, ‘(WN) China bagaimana kalau kami eksekusi?’ Kebetulan di sana eksekusi mati masih berjalan. Apa jawabnya Bu Menteri pada waktu itu? ‘Pak kalau orang China dieksekusi di sini, orang kita di sana akan dieksekusinya’,” jelasnya.
“Jadi, memang saya bilang, capek-capek kami sudah menuntut hukuman mati, tidak bisa dilaksanakan. Itu mungkin problematika kita,” imbuhnya.
Adapun baru-baru ini, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan memulangkan terpidana mati kasus narkotika asal Prancis, Serge Areski Atlaoui.
Proses pemindahan/pemulangan terpidana mati Serge ini dilakukan atas kesepakatan dari kedua negara antara Indonesia dan Prancis dengan didasari kerjasama bilateral.
Staf Khusus Bidang Hubungan Internasional Ahmad Usmarwi Kaffah menyampaikan, langkah pengembalian terpidana mati ini dilakukan atas kondisi kesehatan yang bersangkutan sehingga mengharuskan pihak Pemerintah Prancis untuk memulangkannya.
Ia mengungkapkan, atas kesepakatan ini, Pemerintah Prancis wajib mengakui putusan pengadilan Indonesia. Dalam hal ini, Prancis mesti mengakui bahwa Serge, warga negaranya itu, merupakan narapidana yang dijatuhi hukuman mati.
Selain itu, kewenangan pembinaan narapidana akan diserahkan kepada negara bersangkutan setelah dipindahkan. Indonesia pun akan menghormati kebijakan yang akan diambil oleh Prancis, termasuk di dalamnya memberikan grasi kepada Serge.