Petisi Brawijaya, Jakarta – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, secara tegas menolak rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai PPN 12% pada 2025.
Menurutnya kebijakan ini dinilai dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat kecil dan buruh, khususnya di tengah minimnya kenaikan upah.
Selain itu, kebijakan ini juga dapat menurunkan daya beli Masyarakat secara signifikan, mengakibatkan kesenjangan sosial yang lebih dalam, dan menjauhkan target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mencapai 8%.
“Lesunya daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor,” ungkap Said Iqbal dalam keterangannya, di Jakarta, pada Selasa (19/11/2024).
Dengan beban PPN yang meningkat, rakyat kecil harus mengalokasikan lebih banyak untuk pajak tanpa adanya peningkatan pendapatan yang memadai.
Redistribusi pendapatan yang timpang akan semakin memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin, menjadikan beban hidup masyarakat kecil semakin berat.
Bagi Partai Buruh dan KSPI, kebijakan ini mirip dengan gaya kolonial yang membebani rakyat kecil demi keuntungan segelintir pihak.
Merespons kebijakan yang dinilai merugikan ini, KSPI dan Partai Buruh menuntut 4 (empat) hal ini kepada pemerintah, diantaranya yakni:
- Menuntut Kenaikan upah minimum 2025 sebesar 8-10 persen, agar daya beli masyarakat tetap terjaga.
- Menuntut Penetapan upah minimum sektoral sesuai kebutuhan masing-masing sektor.
- Menuntut Pembatalan rencana kenaikan PPN menjadi 12%.
- Menuntut Peningkatan rasio pajak tanpa membebani rakyat kecil, melalui perluasan wajib pajak dan penagihan pajak yang lebih efektif terhadap korporasi besar dan individu kaya.
Jika pemerintah tetap melanjutkan rencana kenaikan PPN dan tidak menaikkan upah minimum sesuai tuntutan, KSPI bersama serikat buruh lainnya berencana menggelar mogok nasional. Aksi ini diperkirakan melibatkan 5 juta buruh di seluruh Indonesia.
Mogok nasional ini direncanakan akan menghentikan produksi selama minimal 2 hari antara tanggal 19 November hingga 24 Desember 2024, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap menekan rakyat kecil dan buruh,” tegas Said Iqbal.
Sebelumnya, berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengungkap sebanyak 64.751 karyawan di Indonesia di-PHK per 18 November 2024 hingga pukul 08.45 WIB.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, menyampaikan wilayah penyumbang PHK tertinggi berasal dari DKI Jakarta, yakni sebanyak 14.501 tenaga kerja yang ter-PHK.
Menurut data Kemnaker, DKI Jakarta berkontribusi sebesar 22,4% dari 64.751 karyawan yang ter-PHK per 18 November 2024, sedangkan di Jawa Tengah tenaga kerja yang ter-PHK mencapai 12.492 dan 10.992 tenaga kerja Banten di-PHK.
Jika ditinjau dari sektor industri, Kemnaker mengungkap industri pengolahan menjadi sektor tertinggi penyumbang PHK per 18 November 2024.
“Tiga sektor PHK tertinggi antara lain pengolahan sebanyak 28.336, aktivitas jasa lainnya 15.629 [tenaga kerja], dan perdagangan besar dan eceran sebanyak 8.543 [tenaga kerja],” tandasnya.