Petisi Brawijaya, Jakarta – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang melanda sejumlah perusahaan besar di Indonesia, seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Yamaha Musik, Sanken, Hingga KFC Indonesia, menjadi perhatian serius Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Apindo, Sarman Simanjorang, menyatakan bahwa kondisi ini mencerminkan situasi ekonomi Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.
Menurut Sarman, PHK massal yang terjadi di sektor manufaktur, tekstil, dan elektronik ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk dampak pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya pulih, tekanan ekonomi global, dan ketidakpastian geopolitik.
“Industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki sangat terpukul. Ditambah lagi dengan perang geopolitik yang memengaruhi ekspor, sehingga banyak perusahaan terpaksa mengurangi tenaga kerja,” ujar Sarman dikutip pada Selasa, (4/3/2025).
Ia juga menyoroti bahwa daya saing industri dalam negeri melemah akibat tingginya biaya produksi dan masuknya produk impor dengan harga lebih murah.
“Kondisi ini membuat perusahaan sulit bertahan, apalagi dengan permintaan ekspor yang menurun,” tambahnya.
Sebagai informasi, gelombang PHK massal ini terus meningkat akibat tekanan ekonomi dan efisiensi Perusahaan. PHK massal ini tentu berdampak pada ribuan pekerja yang kehilangan mata pencaharian.
Berikut adalah beberapa data terkait PHK massal yang terjadi:
Sritex: 10.665 karyawan kehilangan pekerjaan akibat penutupan perusahaan
Yamaha: Dua pabrik Yamaha ditutup, menyebabkan 1.100 pekerja terdampak PHK
KFC Indonesia: PHK massal berdampak pada 2.274 karyawan
Sanken: 900 karyawan kehilangan pekerjaan
Sarman menyebut bahwa situasi ini tidak hanya berdampak pada pekerja, tetapi juga pada perekonomian daerah di sekitar lokasi industri.
“Ketika perusahaan tutup, dampaknya dirasakan oleh seluruh ekosistem, termasuk pemasok dan masyarakat sekitar,” jelasnya.
Apindo berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi masalah ini.
Sarman mengusulkan percepatan program hilirisasi dan pemberian insentif kepada perusahaan agar tetap beroperasi di Indonesia.
“Hilirisasi tambang seperti bauksit dan emas bisa menjadi peluang untuk menciptakan lapangan kerja baru. Selain itu, insentif untuk UMKM juga perlu ditingkatkan agar mereka dapat menyerap tenaga kerja,” katanya.
Ia juga mengimbau pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi agar lebih menarik bagi investor asing.
“Investor adalah salah satu andalan kita untuk membuka lapangan kerja. Jika mereka percaya pada Indonesia, maka ekonomi kita akan lebih kuat,” tambahnya.
Adapun Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, mengungkapkan pihaknya mencermati bahwa beberapa sektor industri saat ini menghadapi tekanan ekonomi yang signifikan, yang berdampak pada keputusan bisnis yang sulit, termasuk pengurangan tenaga kerja.
Dia mengutip Outlook Ekonomi dan Bisnis 2025 yang telah dirilis Apindo sebelumnya, bahwa industri padat karya diprediksi masih akan menghadapi berbagai tantangan besar sepanjang tahun ini.
“Salah satu isu fundamental yang harus kita hadapi bersama adalah gejala deindustrialisasi dini, yang ditandai dengan terus menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB, dari 29% pada tahun 2001 menjadi hanya 19% pada tahun 2024. Tren ini menunjukkan bahwa sektor industri, khususnya padat karya, membutuhkan kebijakan yang lebih mendukung agar tetap mampu bersaing dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” paparnya.
Shinta pun menyoroti sejumlah tantangan yang dihadapi industri padat karya yang masih berkisar pada struktur biaya operasional yang tinggi.
Tingginya biaya tersebut mencakup logistik, kenaikan biaya produksi, kenaikan UMP yang cukup signifikan, serta tekanan dari kompetitor di negara lain yang memiliki biaya tenaga kerja lebih rendah, juga pergantian regulasi ketenagakerjaan yang terlalu sering yang menciptakan ketidakpastian yang berdampak pada minat investasi.
Menurutnya, Apindo terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait guna mencari solusi terbaik bagi dunia usaha dan tenaga kerja.
“Dalam hal ini, APINDO berharap agar pemerintah terus menjalin dialog terbuka dengan dunia usaha untuk menyempurnakan kebijakan yang ada, sehingga mampu menciptakan ekosistem bisnis yang lebih sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan,” kata Shinta.
“APINDO juga senantiasa mendorong perusahaan untuk mengedepankan dialog sosial dengan para pekerja serta mengupayakan langkah-langkah yang mendukung keberlangsungan usaha dan perlindungan tenaga kerja,” tuturnya.